Ruang Tanpa Jendela
Aku bisa saja membunuhnya jika mau. Menusuknya dengan sebilah pisau dapur ketika dia tidur. Toh, dia sering tidur lebih awal. Atau melukai matanya? Mata yang selalu menatapku dengan murahan. Ah, mungkin yang paling sederhana adalah menarik lehernya dengan ikat pinggang ketika dia tidur. Kakinya mungkin akan meronta-ronta, tak mengapa, aku bisa mengikatnya dengan baju. Aaah seandainya ... Tidak. Itu dosa besar. Dosa besar ... Dosa besar ...
---------
"Kal?"
"Ya?"
"Kamu tau aku adalah pemikir?"
"Ya"
"Aku memikirkan banyak hal"
"Seperti?"
"Apakah yang aku katakan menyakiti orang lain?"
"Itu sangat subyektif"
"No. Aku cuma sharing aja"
"Oooh, sorry. Lalu?"
"Apakah ada orang yang nggak suka sama aku? Apa yang aku lakuin itu bener? Apa kamu bahagia sama aku? Apa aku ada salah sama kamu? Ah, aku memikirkan itu semua Kal"
"Va, aku justru memikirkan hal yang jauh lebih dalam dari sekadar itu. Pikiranku, bisa jadi bercabang ratusan bahkan ribuan kelokan dengan bilik-bilik kekhawatiran yang selalu mencuri waktu tidurku"
Mereka saling pandang.
"Va. Aku butuh dokter, atau mungkin psikiater"
"Hah? Untuk apa? Kenapa?"
"Aku ... Ada sesuatu yang harus aku cari tau Va. Aku ngerasain itu semua"
Tak ada jawaban. Dia, selalu seperti itu.
Jauh di dalam sana. Ada ruang yang terkunci rapat. Ruangannya gelap. Hanya ada sebuah meja tulis lengkap dengan kursinya. Sebuah lampu tergantung di belakangnya. Tak ada apapun. Kecuali kertas yang berserakan. Sebuah ruang tanpa jendela. Ventilasi kecil nampak mengedakan sebaris bias matahari. Namun, selalu tak cukup menerani bahkan menampakkan sedikit bayang di dalamnya.
"Ceritakan padaku"
"Apa?"
"Ketika kamu ke dokter, mereka pasti akan minta kamu cerita dulu"
"Ya, aku tau"
"Dan sekarang kamu nggak mau cerita?"
"Ini beda Va. Mereka akan lakuin sesuai keilmuannya, ada tahapan sampai aku bisa cerita semuanya. Tentang semua kekhawatiranku, pikiranku, ketakutanku. Tentang semuanya. Bukan tiba-tiba dipaksa cerita gini"
Hening.
---------
~Lintang ~
Aku pernah menangis bersamanya. Berteriak sesukaku. Tak ada topeng. Bahkan dia tahu, bagaimana aku merancang sebuah cara untuk membunuh. Bagaimana inginku menyakiti seseorang. Dia ada, dan selalu ada. Tapi tidak dengan saat ini. Dia, pergi begitu saja.
Sesungguhnya, tak pernah ada yang benar-benar pergi. Semua ada pada tempatnya. Mengisi ruang sebagaimana mestinya. Namun, logika kadang jauh melangkah di depan meninggalkan hati. Meletakkannya pada sebuah hamparan hampa.
Mereka adalah dua. Yang saling berdiri dengan hidupnya. Yang datang dengan segala kehangatan nan memabukkan. Menawarkan pelukan atas duka satu sama lain.
Mereka adalah dua yang terpisah oleh sekat ruang yang teramat tipis. Bagaikan dua elemen yang tumpang tindih namun tidak saling menempel. Keduanya dekat, bahkan sangat dekat. Namun ada jeda waktu diantaranya. Menyisakan piku bahkan yang teramat. Kadang, rasa ingin mati adalah solusi, ketika satu diantaranya tak kunjung hadir dengan peluknya yang hangat.
---------
((Bersambung))
20 comments for "Ruang Tanpa Jendela"
Otak belum nyampek><
Sukaaa~
Penasaran
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga tulisan di blog ini bermanfaat untuk teman-teman. Jangan lupa untuk tinggalkan cuitan di kolom komentar dan jangan meninggalkan link hidup yak :)