BENANG KUSUT COVID-19
Telah gugur pahlawanku
Tunai sudah janji bakti
Gugur satu tumbuh seribu
Tanah air jaya sakti
Rasanya potongan lagu ini cukup mewakili isi hati sebagian besar masyarakat Indonesia. Ada duka yang diam-diam dipendam, ada marah yang entah bagaimana akan meledak, juga kecewa yang semakin hari semakin membesar.
Maret 2020, suspect pertama Covid-19 ditemukan di Indonesia. Pemerintah masih dengan gayanya yang khas, berpendapat jika Indonesia akan baik-baik saja. Namun nyatanya? Lonjakan korban tersebar di seluruh penjuru, hanya dalam beberapa minggu.
Lalu? Mendadak Menteri Kesehatan seolah hilang. Tak ada kabar sama sekali. Menteri Pariwisata dan ekokraf dicecar habis-habisan setelah terobosannya pada beberapa sektor wisata, dinilai memperburuk persebaran Covid-19. Juga Menteri Pendidikan yang habis dimaki para emak-emak, tuntutannya sederhana ingin sistem belajar jarak jauh dimudahkan prosesnya.
Oase di Padang Pasir
Namun, di tengah merebaknya berita tentang tumbangnya para tenaga medis, ada angin segar yang berhembus.
Pemerintah menggelontorkan dana cukup besar untuk membantu pemulihan ekonomi warganya. Baik berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) maupun sembako. Nominal dan kuantitasnya memang tidak terlalu banyak, tapi setidaknya pemerintah telah mencoba hadir sebagai pelindung bagi ratusan juta rakyatnya.
Bukan hanya itu, perusahan-perusahaan juga telah mulai beroperasi. Tentu saja dengan menerapkan protokol kesehatan yang telah digaungkan pemerintah.
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) telah menjadi momok baru dalam dunia perekonomian. Meskipun izin membuka usaha telah dikantongi, namun omset yang mereka dapatkan, jauh panggang dari api, tidak mendekati nilai omset yang sesungguhnya.
Chatib Basri, mantan Menteri Keuangan, berpendapat jika PSBB Transisi tidak akan membuat suatu perusahaan berkembang atau melakukan ekspansi. Alasannya ialah, mengapa harus membuka investasi baru jika investasi yang lama saja underutilized.
Anak Sambat, Emak Menjerit
Dunia pendidikan tak kalah hebohnya. Sekolah sudah tutup gerbang hampir 10 bulan lamanya. Tak ada kegiatan fisik, semua digantikan dengan daring. Tapi, kebijakan pun menuai banyak kontra. Pasalnya, banyak orang tua yang mengeluh tidak sanggung membersamai anaknya belajar, gawai yang tidak mendukung, sistem belajar yang tidak efektif, bahkan emak gaptek juga menjadi alasan.
Jika sudah begini, apa mau dikata? Covid-19 sudah mengubah banyak elemen kehidupan. Kesehatan, politik, agama, budaya, pendidikan, ekonomi adalah sedikit sektor yang terdampak langsung karena persebaran virus ini.
Membuka sekolah di tengah pandemi, seperti yang diharapkan sebagian orang tua, mungkin bukan keputusan yang bijak. Mengapa? Sebab anak-anak lah yang paling rawan tidak mematuhi protokol kesehatan dan di sekolah lah kegiatan berkelompok dalam jumlah anggota yang banyak dengan mudah terbentuk.
Mohammad Reza, Pakar Kesehatan dari Universitas Andalas juga membenarkan hal ini. menurutnya, sekolah pada zona merah dan kuning memang belum bisa dilakukan. Dengan pertimbangan usia anak-anak yang belum bisa konsisten menerapkan kebijakan, termasuk mahasiswa sekalipun.
Hal ini kemudian disandingkan dengan berita-berita duka yang bermunculan. Orang tua yang tega menganiaya bahkan berujung pada hilangnya nyawa anaknya. Apakah kemudian sistem belajar daring bisa dikambinghitamkan?
Pendidikan, seharusnya tidak sekadar berpatokan pada nilai dan angka, namun juga kematangan diri dan karakter siswanya.
Bahkan, salah seorang Pakar Pendidikan, Isa Anshori mengatakan jika sistem belajar daring saat ini, jauh dari efektif, sebab tidak disiapkan dengan betul konsepnya. yang menjadi sorotannya adalah, banyak guru yang kemudian hanya mengejar target tuntasnya kurikulum semata. Sarannya, alangkah baiknya jika guru ini memberikan tugas yang mudah dan murah, sehingga orangtua pun tidak merasa terbebani mendampingi anaknya.
Dahaga Bercucur Peluh
PSBB Transisi diharapkan mampu menambah kenaikan di sektor ekonomi. Dengan catatan, segalanya di bawah pengawasan aparat terkait dan tetap menjalankan protokol kesehatan.
Nyatanya?
Tempat tongkrongan penuh sesak, pasar rakyat padat merayap, bahkan tempat wisata bisa menampung ribuan pengunjung.
Akibatnya? Terjadi lonjakan jumlah penderita Covid-19 dalam waktu singkat. PSBB yang diharapkan mampu menjadi titik balik pemulihan berbagai sektor, juga menjadi penyumbang kenaikan persebaran Covid-19.
Jika sudah begini, jelas siapa yang semakin pontang-panting. Tenaga kesehatan, dokter, perawat dan jajarannya.
Tak sedikit dari mereka yang pada akhirnya memilih karantina mandiri, daripada bercampur bersama keluarga. Ironi memang. Kesadaran akan cepatnya persebaran virus ini, seolah hanya disadari oleh kalangan tertentu.
Jangankan bisa minum cendol segar di sing hari, meneguk air putih saja mereka (nakes) harus menunggu selama 8 jam. Badan lelah lemah berbalut baju hazmat, lengkap dengan face shield, sepatu, sarung tangan dan pendukung lainnya.
Mudah? Tidak.
Di balik layar, mereka banyak mencurahkan isi hatinya di media sosial. Sedih bercampur haru. Sesungguhnya mereka pun lelah, bahkan marah dengan sikap orang yang abai dan cenderung menyepelekan virus ini.
Jika memang PSBB Transisi ini diharapkan menjadi awal Kebiasaan Baru, bukankah seharusnya juga tidak menambah lonjakan pasien positif Covid-19?
Duduk Bersama
Peneliti Senior Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia, Haryo Aswicahyono mengingatkan pentingnya data harian kasus baru Covid-19 sebagai dasar pengambilan kebijakan di masa transisi.
Seperti pembahasan sebelumnya, yang mana PSBB diharapkan menjadi titik balik perbaikan berbagai sektor vital seperti ekonomi dan kesehatan. namun, hal ini akan dapat terwujud, jika diikuti dengan pemantauan secara berkala. Karena, langkah tidak eloknya jika sektor ekonomi mengalami percepatan pertumbuhan namun diiringi dengan anjloknya kesehatan masyarakat.
Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan birokrasi, sudah seharusnya mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang terjadi setelah PSBB Transisi ini berakhir. Karena menengok dari data yang bermunculan, bahwa setiap pergerakan atau kegiatan mampu mendorong naiknya percepatan persebaran Covid-19 ini.
Kembali lagi, ujung tombak dari semua ini adalah diri sendiri, bagaimana kepatuhan kita dalam menjalankan protokol kesehatan dan antisipasi ketika berkegiatan bersama adalah sangat penting untuk dipertimbangkan.
Karena mau tidak mau, nyatanya kita telah berhadapan dengan virus ini selama hampir 8 bulan.
1 comment for "BENANG KUSUT COVID-19"
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga tulisan di blog ini bermanfaat untuk teman-teman. Jangan lupa untuk tinggalkan cuitan di kolom komentar dan jangan meninggalkan link hidup yak :)