BUKAN BILANGAN FIBONACCI
"Teruslah berhitung sampai aku datang. Teruslah berhitung seperti ketika kita main petak umpet. Aku pasti akan datang, untukmu"
Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh, sebelas, dua puluh tiga, dua puluh sembilan, tiga puluh enam, tiga puluh tujuh, empat puluh, empat puluh lima, empat puluh delapan, lima puluh lima ...
"Hai perempuan ... " Aku menoleh.
"Ya?", tanyaku.
"Sedang apa kau di sini?"
"Menunggu kekasihku"
"Ke mana dia?"
"Pergi untuk membawakanku cincin"
"Sudah berapa lama kau di sini?"
"Baru sampai pada hitungan ke 55. Atau mungkin 58?"
"Nak, kau sudah duduk di sini selama 6,5 minggu"
"Selama itu kah?"
"Kau pikun? Atau sakit jiwa?"
"Tidak"
"Maka pulanglah ke rumah"
"Dia adalah rumahku"
"Nak ... "
"Sembilan, sepuluh, sebelas, enam puluh delapan ... "
Sejak hari itu, aku berada di sebuah ruangan sendirian. Seseorang sering memberiku makanan dan memaksaku mandi. Mereka memanggilnya Kakak Suster.
Kakak Suster bilang, kalau kekasihku itu sudah mati makanya dia tidak pernah datang. Dia salah. Kekasihku masih hidup, sebab aku pun masih hidup.
17 comments for "BUKAN BILANGAN FIBONACCI"
Sesungguhnya tiada kematian dalam hati seorang pecinta.
Ada dan tiada dalam hal wujud pun lenyap..
Jika dia mati, aku pun mati..
Maka telah menyatu.. Manunggal...
Aku adalah dia.. Dia adalah aku
-purnama indah-
Sementara pikiranku guru matematika
Gak nyangka banget endingnya ternyata menghitung untuk menunggu sang kekasih yang sudah meninggal.
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga tulisan di blog ini bermanfaat untuk teman-teman. Jangan lupa untuk tinggalkan cuitan di kolom komentar dan jangan meninggalkan link hidup yak :)