Merdeka Belajar : Belajar Mengajar Tanpa Tekanan
Menurut teman-teman, apa sih, merdeka belajar itu? Apakah itu suasana merdeka ketika belajar? Dalam artian tidak ada tekanan dari pihak wali murid maupun guru? Ataukah merdeka belajar adalah bebas belajar apapun tanpa distraksi berbagai pihak? Tentu saja teman-teman punya persepsi yang berbeda, dan itu tidak masalah. Karena memang tidak ada pengertian saklek untuk hal ini.
Sebelumnya, kita semua tahu jika pandemi masih melabeli negara ini. Salah satu sektor yang terdampak adalah pendidikan. Dua tahun sudah sekolah tatap muka dihentikan, dan baru-baru ini saja dibuka. Itupun belum merata dan stabil. Tentu saja hal ini sudah melalui berbagai macam pertimbangan stakeholder.
2020 lalu, ketika virus ini baru saja teridentifikasi, kebetulan saya sedang di rumah ibu. Di sebuah kabupaten yang berbatasan dengan Jawa Timur. Saat itu sekolah daring baru saja diterapkan. Ada seorang tetangga, yang dia memiliki dua anak SD. Setiap hari ketika jam belajar daring, beliau selalu saja marah-marah dengan kedua anaknya. Entah karena anaknya yang masih main, tidak mengerjakan tugas atau bahkan tidak menemukan anaknya.
Lalu ada tetangga lain, yang hidup sangat pas-pasan. Ibunya seorang tuna netra, ayahnya pekerja serabutan. Di saat jam belajar daring, tidak banyak yang dia lakukan, karena tidak ada yang membimbingnya. Beruntung ada teman yang bisa diajak bekerja sama, untuk berbagi materi atau membantu menyelesaikan tugas.
Belum lagi anak yang belajar sambil menangis karena terus-terusan dimarahi ibunya, karena tidak paham atau tidak mau duduk dengan tenang. Juga ibu yang sepanjang hari naik darah, sebab tak sanggung mendampingi anaknya belajar sekaligus mengurus rumah.
Di belahan lain, ada orang tua yang sangat mempersiapkan fasilitas belajar daring ini dengan baik. Membeli laptop atau gawai khusus anaknya, kaca mata radiasi hingga meja kursi belajar yang nyaman.
Di saat bersamaan, ada guru yang juga pontang-panting mempersiapkan semua bahan ajar, alokasi waktu hingga stamina.
Rasanya semua pihak sangat berusaha keras untuk beradaptasi dengan hal ini. Semua pihak dituntut untuk bisa dan mau. Kejadian-kejadian di atas, mungkin juga teman-teman temui di lingkungan terdekat. Dengan kejadian di atas pula, kita pasti memiliki pendapat yang berbeda tentang merdeka belajar ini.
Dokumen pribadi narasumber |
Merdeka Belajar, Kata Siapa?
Teman-teman sadar, nggak sih, kalau guru itu juga salah satu pekerjaan yang rentan stress? Terlebih saat pandemi seperti sekarang. Banyak pihak menyalahkan guru, jika jadwal belajar daring harus mundur atau bahkan ditunda.
Guru seolah-olah tak diizinkan absen atau memberikan tugas yang terlihat merepotkan, saat pandemi. Yap. Karena sebagian orang tua juga belum siap jika harus menemani anaknya belajar. Belum lagi ketika anak didik tidak mengerjakan tugas dengan maksimal, tidak mengikuti pelajaran sebagai mestinya dengan dalih belajar daring itu santai. Akhirnya kehadiran hanya formalitas.
Belum lagi ketika anak-anak ini harus beradu debat dulu dengan orang tuanya. Entah karena orang tua menuntut anak atau anak yang tidak ingin menerima banyak tugas dan tuntutan.
Jika anak-anak ataupun para guru memiliki lingkungan yang tidak bersahabat, apakah mungkin suasana belajar yang nyaman itu akan tercapai? Nah ternyata, lingkungan belajar ini memang menjadi salah satu instrumen utama dalam Asesmen Nasional. Yang mana kita tahu, jika asesmen ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidik dan pendidikan nasional.
Suara Guru di Tengah Pandemi
“Kualitas penyerapan materi dan fokus anak adalah hal yang paling terasa selama pandemi ini. Mungkin saja, karena vibes yang berbeda, Di rumah, mereka bebas melakukan apa saja. Sehingga fokus ketika menerima materi tidak maksimal”, ungkap Kiky (Guru Jolly Kids).
“Bahkan, nilai yang mereka dapatkan bisa saja dari hasil gurunya yang mengerjakan”, tambahnya.
Masih dari sumber yang sama. Sebagai seorang guru les, Kiky memiliki cerita tersendiri selama mengajar saat pandemi ini. Dari pengakuannya, dia mengatakan jika kebijakan dari pemerintah sebenarnya sudah menghimbau untuk tidak terlalu memberatkan anak-anak, dengan PR menumpuk misalnya.
Namun ternyata, beban tanggungan belajar anak-anak ini sama ketika sebelum pandemi. Baik dari padatnya materi, project, hingga tugas lainnya masih sama, hanya label sekolah daring yang ditambahkan.
Ini hanyalah satu cerita dari sekian banyak profesi pendidik di Indonesia, tentu akan banyak kisah jika kita mau menggalinya lebih dalam. Meskipun seorang guru les, tapi kita juga tidak bisa serta merta memandangnya sebelah mata. Sebab, bukankah mereka juga memberikan kontribusi atas pendidikan kita?
Tak berhenti sampai disitu. Kiky yang menyadari jika belajar daring terasa lebih membosankan (padahal durasi waktu tetap sama dengan sebelum pandemi), memutar otak untuk membuat inovasi dalam kelasnya. Kemudian, dibuatlah sesi permainan edukatif bersama anak didiknya. Menurutnya, cara ini cukup ampuh untuk tetap membuat anak-anak enjoy dan fokus pada materi.
Kisah lain datang dari seorang guru kelas yang usianya tidak lagi muda. Beliau harus beradaptasi dengan platform-platform digital untuk mengajar anak didiknya. Tak jarang, para wali murid kerap mengkritiknya karena dianggap lamban dan kuno. Padahal, ada yang lebih esensial dari itu. Bahwa beliau telah memberanikan dirinya untuk mempelajari hal baru yang sangat asing dengannya.
Bukankah menyemangati beliau adalah kebaikan?
Kegiatan Belajar, Pandemi dan Kebijakan Stakeholder
Belajar daring, memang menyisakan banyak kisah. Keponakan saya adalah seorang mahasisa baru, dia mengikuti kegiatan belajar daring 2 tahun masa pendidikannya. Satu hal yang menurutnya paling terasa adalah vibes belajar yang hilang. Tidak ada euphoria ujian nasional atau UTBK bersama teman-temannya.
Juga dari teman saya, Kiky, yang seorang guru les. Memiliki murid dari berbagai kalangan, baik dari sekolah negeri hingga internasional, membuatnya paham, jika belakangan banyak dijumpainya orang tua yang semakin perfeksionis terhadap nilai anaknya. Padahal, tak jarang guru les lah yang mengerjakan. Belum lagi, ketika didapati guru salah memasukkan nilai praktek siswanya.
Lalu ada tetangga dengan dua anak SD yang kerap kali marah ketika jadwal belajar daring, sebab anaknya tak pernah siap sebelumnya. Termasuk juga dengan tugas-tugas yang diberikan, hampir tak pernah selesai.
Dokumen pribadi narasumber |
Kini, perlahan sekolah tatap muka mulai digalakkan kembali. Satu per satu sekolah mulai memperlihatkan kegiatan belajarnya. Anak-anak sekolah mulai memadati jalanan di pagi hari. Tentu saja ini hal yang juga kita rindukan.
Kebijakan pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan, memang sejak awal tidak memberatkan pihak manapun, termasuk sekolah. Pemerintah telah menghimbau, agar memberikan kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan keadaan siswanya, bahkan menyerahkan keputusan pelajaran tatap muka pada orang tua.
Sebab sebagai stakeholder, pemerintah paham betul, jika kondisi ini (pandemi) bukanlah hal yang mudah setiap orang.
Kini, saatnya kita semua beradaptasi pada kebiasaan baru dan tetap memberikan lingkungan belajar yang menyenangkan bagi anak-anak hingga pendidik. Sebab dirasakan atau tidak, pembelajaran yang berada di lingkungan penuh tekanan, tidak memberikan dampak positif bagi mereka.
Merdeka belajar saat pandemi, adalah cita yang harus kita wujudkan. Tentu saja membutuhkan kerja sama berbagai pihak. Bukan lagi saatnya kita saling menyalahkan, karena kita juga sama-sama lelah dengan keadaan ini. Tujuan kita adalah memberikan pendidikan yang layak bagi setiap anak, meskipun pandemi masih di depan mata. #BlogUnparBelajarDaring #LombaBlogUnpar
2 comments for "Merdeka Belajar : Belajar Mengajar Tanpa Tekanan"
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga tulisan di blog ini bermanfaat untuk teman-teman. Jangan lupa untuk tinggalkan cuitan di kolom komentar dan jangan meninggalkan link hidup yak :)