Hanyut dalam Tren Fashion Harga Murah? Kemanakah yang Tidak Lagi Terpakai?
Masih ingat Citayam Fashion Week? Citayam Fashion Week atau CFW ini, menyedot perhatian publik. Bukan hanya karena pengunjungnya yang tak biasa, tetapi juga dari gaya pakaiannya.
Jika teman-teman pernah melihat, mereka yang turut meramaikan CFW bahkan hingga viral, memiliki gaya berbusananya sendiri. Benar. Setiap orang memiliki ciri khas, meskipun tak sedikit menggunakan model pakaian yang sama.
Namun, kita tidak akan membicarakan gaya pakaian mereka yang cukup unik, melainkan ke mana limbah pakaian itu akan dibuang?
Tentu saja ini akan sangat berbeda dengan tren fashion tahun 50an silam. Di mana gaya pakaiannya juga dipengaruhi oleh percampuran budaya, dari Asia dan Eropa. Itulah mengapa, banyak pakaian yang modelnya terbuka tetapi santai.
Namun, jangan salah. Tren fashion tahun ini, bisa dibilang juga mirip dengan tren fashion pada tahun 90an. Di mana style kaos oversized, jaket jeans hingga dress dengan motif floral sedang naik daun.
Jika teman-teman bertanya, dari mana masyarakat tahu dan akhirnya bisa mengikuti trend fashion tersebut? Tidak lain, bersumber dari media sosial. Media sosial telah menjadi jendela bagi banyak orang untuk mencari inspirasi, termasuk dalam hal berpakaian.
Hingga tak sedikit yang kemudian menjadi Fear of Missing Out atau FOMO adalah perasaan takut tertinggal akan sesuatu yang tengah menjadi “topik utama” di masyarakat. Dari adanya fenomena FOMO tersebut, kemudian muncul juga fenomena fast fashion.
Rasanya kita akan mudah menjumpai produk seperti di atas. Salah satunya saat membuka marketplace. Di sana, ada banyak toko yang menjual barang dengan harga yang sangat murah.
Aku sendiri pernah mencoba membeli dari salah satu toko yang memiliki banyak penjualan. Sejak awal, memang sudah tidak berekspektasi apapun. Bayangkan saja, aku hanya perlu membayar 10 ribu rupiah untuk satu setel piyama. Singkatnya, pakaian tersebut sama sekali tidak bisa dipakai hahahaha.
Dari fenomena ini pula, aku mendapatkan sebuah informasi, bahwa pakaian atau tekstil adalah salah satu limbah yang menjadi penyumbang terbanyak di berbagai TPA (Tempat Pembuangan Akhir).
Mengapa? Ini dikarenakan banyak masyarakat yang konsumtif dalam membeli pakaian, terlebih pada mereka yang sangat mengikuti tren fashion. Bahkan, tak sedikit yang kemudian membeli baju bukan karena butuh, tetapi hanya karena “ingin punya” saja.
Lalu, bagaimana sebenarnya dampak fast fashion terhadap limbah tekstil di lingkungan?
Namun yang kemudian membuatku tersadar adalah ternyata apa yang tidak ada di rumah kita, belum tentu benar-benar hilang. Salah satunya adalah limbah tekstil tersebut.
Mungkin kita merasa sudah membuangnya bersama dengan sampah lainnya, tetapi ternyata mereka berubah menjadi gunungan sampah yang bercampur dengan limbah lainnya.
Apakah teman-teman pernah melihat berita, di mana ada seekor lumba-lumba yang ditemukan karena tercekik pakaian dalam wanita? Ironi, bukan? Limbah pakaian yang kita hasilkan, ternyata juga bisa berdampak pada makhluk lain di belahan Bumi lainnya.
Lebih lanjut terkait dampak lingkungan yang dihasilkan oleh limbah tren mode ini telah tampak di depan mata. Salah satu contohnya adalah pencemaran air. Studi yang dilakukan Pusat Riset Oseanografi Institut Pertanian Bogor (IPB) pada bulan Februari lalu, menemukan sebanyak 70 persen bagian tengah Sungai Citarum tercemar mikro plastik, berupa serat benang polyester. Hal tersebut diperkuat dengan keberadaan industri tekstil di kawasan tersebut.
Di sinilah peran penting kita, yakni bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan.
Pernyataan serupa juga datang dari manca negara. Alan Wheeler, seorang Direktur Asosiasi Daur Ulang Tekstil Inggris menyampaikan, jika industri pakaian telah berkontribusi sebagai penyumbang polusi terbesar kedua di dunia. Ia juga menambahkan bahwa sebanyak 1,2 miliar ton emisi gas rumah kaca dihasilkan oleh industri tekstil di dunia.
Namun, teman-teman tak perlu berkecil hati. Bahwa apa yang terjadi di dunia ini, Tuhan juga menciptakan sisi lain sebagai penyeimbang bahkan peredanya. Benar? Termasuk juga dalam hal tren fashion ini.
Jika teman-teman ingat, pernyataan ini seolah memiliki korelasi dengan pernyataan Aretha Aprilia tadi, bukan?
Maka, hadirlah slow fashion di tengah gejolak tren fashion yang sangat cepat berubah ini.
Laruna Indonesia Fashion Forum, pada situsnya menuliskan bahwa Slow fashion memiliki tujuan utama untuk meminimalisir dampak pencemaran limbah tekstil terhadap lingkungan, akibat pola produksi dan konsumsi fashion yang tidak berkelanjutan serta perlakuan yang baik kepada pekerja dari sisi kemanusiaan.
Slow fashion dalam kegiatan produksi, umumnya membutuhkan waktu yang lebih lama. Mengapa? Sebab perusahaan konveksi harus memastikan menggunakan bahan yang berkualitas, diproduksi secara natural dengan menggunakan bahan alami. Harapannya adalah, nanti produk fashion akan mudah terurai dengan alam saat tak lagi dipakai manusia.
Benar. Pada akhirnya, produk dari slow fashion juga bisa kita sebut sebagai produk sustainable atau berkelanjutan. Namun, seperti yang kita bahas tadi, bahwa produk slow fashion ini pun mendapatkan stigma harga yang terlalu tinggi, sehingga masyarakat tidak mampu untuk membelinya.
Sebenarnya, kenapa produk sustainable ini tergolong mahal?
Jangan salah, soal desain tentu saja brand ini siap bersaing dengan brand internasional atau brand besar lainnya.
Bersama dengan Laruna, kita bisa menunjukkan rasa cinta terhadap Bumi dengan memilih sikap “ramah lingkungan” serta memberikan dampak untuk perubahan positif yang nyata.
Dengan hadirnya wadah seperti ini, tentu memudahkan kita untuk menentukan dan memantapkan pilihan. Hadirnya Laruna, juga mengingatkan kita, bahwa bukan hanya kita yang peduli terhadap fashion ramah lingkungan.
Sebab, di luar sana bahkan sejak puluhan tahun yang lalu, telah memiliki concern yang sama dengan kita.
Menjaga lingkungan dengan tetap terlihat stylish bisa kita lakukan. Bukan dengan konsumtif berbelanja aneka pakaian yang sedang tren, tetapi juga memilih produk fashion mana yang bisa turut menjaga Bumi?
Jika teman-teman pernah melihat, mereka yang turut meramaikan CFW bahkan hingga viral, memiliki gaya berbusananya sendiri. Benar. Setiap orang memiliki ciri khas, meskipun tak sedikit menggunakan model pakaian yang sama.
Namun, kita tidak akan membicarakan gaya pakaian mereka yang cukup unik, melainkan ke mana limbah pakaian itu akan dibuang?
Selamat Datang di Fenomena Fast Fashion
Melihat kembali ke belakang, tren fashion Indonesia mengalami banyak sekali perubahan. Di tahun ini contohnya, gaya busana cenderung sederhana minimalis dengan pilihan warna earth tone yang masih banyak peminatnya.Tentu saja ini akan sangat berbeda dengan tren fashion tahun 50an silam. Di mana gaya pakaiannya juga dipengaruhi oleh percampuran budaya, dari Asia dan Eropa. Itulah mengapa, banyak pakaian yang modelnya terbuka tetapi santai.
Namun, jangan salah. Tren fashion tahun ini, bisa dibilang juga mirip dengan tren fashion pada tahun 90an. Di mana style kaos oversized, jaket jeans hingga dress dengan motif floral sedang naik daun.
Jika teman-teman bertanya, dari mana masyarakat tahu dan akhirnya bisa mengikuti trend fashion tersebut? Tidak lain, bersumber dari media sosial. Media sosial telah menjadi jendela bagi banyak orang untuk mencari inspirasi, termasuk dalam hal berpakaian.
Hingga tak sedikit yang kemudian menjadi Fear of Missing Out atau FOMO adalah perasaan takut tertinggal akan sesuatu yang tengah menjadi “topik utama” di masyarakat. Dari adanya fenomena FOMO tersebut, kemudian muncul juga fenomena fast fashion.
Mari Berkenalan dengan Fast Fashion
Fast Fashion adalah sebuah istilah yang banyak digunakan dalam industri tekstil di mana terdapat banyak fashion yang berganti dengan cepat dan umumnya menggunakan bahan yang kurang berkualitas.Rasanya kita akan mudah menjumpai produk seperti di atas. Salah satunya saat membuka marketplace. Di sana, ada banyak toko yang menjual barang dengan harga yang sangat murah.
Aku sendiri pernah mencoba membeli dari salah satu toko yang memiliki banyak penjualan. Sejak awal, memang sudah tidak berekspektasi apapun. Bayangkan saja, aku hanya perlu membayar 10 ribu rupiah untuk satu setel piyama. Singkatnya, pakaian tersebut sama sekali tidak bisa dipakai hahahaha.
Dari fenomena ini pula, aku mendapatkan sebuah informasi, bahwa pakaian atau tekstil adalah salah satu limbah yang menjadi penyumbang terbanyak di berbagai TPA (Tempat Pembuangan Akhir).
Mengapa? Ini dikarenakan banyak masyarakat yang konsumtif dalam membeli pakaian, terlebih pada mereka yang sangat mengikuti tren fashion. Bahkan, tak sedikit yang kemudian membeli baju bukan karena butuh, tetapi hanya karena “ingin punya” saja.
Lalu, bagaimana sebenarnya dampak fast fashion terhadap limbah tekstil di lingkungan?
Fast Fashion dan Dampaknya Pada Lingkungan
Kebetulan aku sedang mengikuti kelas belajar zero waste. Salah satu tugasnya adalah melihat langsung kondisi TPS atau TPA terdekat. Ketika datang ke sana, aku melihat tumpukan “sampah” seperti biasanya.Namun yang kemudian membuatku tersadar adalah ternyata apa yang tidak ada di rumah kita, belum tentu benar-benar hilang. Salah satunya adalah limbah tekstil tersebut.
Mungkin kita merasa sudah membuangnya bersama dengan sampah lainnya, tetapi ternyata mereka berubah menjadi gunungan sampah yang bercampur dengan limbah lainnya.
Apakah teman-teman pernah melihat berita, di mana ada seekor lumba-lumba yang ditemukan karena tercekik pakaian dalam wanita? Ironi, bukan? Limbah pakaian yang kita hasilkan, ternyata juga bisa berdampak pada makhluk lain di belahan Bumi lainnya.
Lebih lanjut terkait dampak lingkungan yang dihasilkan oleh limbah tren mode ini telah tampak di depan mata. Salah satu contohnya adalah pencemaran air. Studi yang dilakukan Pusat Riset Oseanografi Institut Pertanian Bogor (IPB) pada bulan Februari lalu, menemukan sebanyak 70 persen bagian tengah Sungai Citarum tercemar mikro plastik, berupa serat benang polyester. Hal tersebut diperkuat dengan keberadaan industri tekstil di kawasan tersebut.
Di sinilah peran penting kita, yakni bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan.
Aretha Aprilia, seorang pakar manajemen limbah dan energi, menyatakan bahwa “Pilih produk (pakaian) yang memang agak mahal tapi berkualitas dan bisa tahan lama. Itu lebih baik dibandingkan kita membeli yang murah tapi berkali-kali dan berujung dibuang.”
Pernyataan serupa juga datang dari manca negara. Alan Wheeler, seorang Direktur Asosiasi Daur Ulang Tekstil Inggris menyampaikan, jika industri pakaian telah berkontribusi sebagai penyumbang polusi terbesar kedua di dunia. Ia juga menambahkan bahwa sebanyak 1,2 miliar ton emisi gas rumah kaca dihasilkan oleh industri tekstil di dunia.
Namun, teman-teman tak perlu berkecil hati. Bahwa apa yang terjadi di dunia ini, Tuhan juga menciptakan sisi lain sebagai penyeimbang bahkan peredanya. Benar? Termasuk juga dalam hal tren fashion ini.
Di Balik Gemerlap Fast Fashion, Slow Fashion Masih Tetap Eksis
Ketika aku mulai belajar tentang zero waste, ada satu kalimat yang diucapkan oleh orang lain dan sangat membekas. Beliau berkata “katanya produk ramah lingkungan tapi kok mahal, ya mending pakai plastik, murah”.Jika teman-teman ingat, pernyataan ini seolah memiliki korelasi dengan pernyataan Aretha Aprilia tadi, bukan?
Maka, hadirlah slow fashion di tengah gejolak tren fashion yang sangat cepat berubah ini.
Laruna Indonesia Fashion Forum, pada situsnya menuliskan bahwa Slow fashion memiliki tujuan utama untuk meminimalisir dampak pencemaran limbah tekstil terhadap lingkungan, akibat pola produksi dan konsumsi fashion yang tidak berkelanjutan serta perlakuan yang baik kepada pekerja dari sisi kemanusiaan.
Slow fashion dalam kegiatan produksi, umumnya membutuhkan waktu yang lebih lama. Mengapa? Sebab perusahaan konveksi harus memastikan menggunakan bahan yang berkualitas, diproduksi secara natural dengan menggunakan bahan alami. Harapannya adalah, nanti produk fashion akan mudah terurai dengan alam saat tak lagi dipakai manusia.
Benar. Pada akhirnya, produk dari slow fashion juga bisa kita sebut sebagai produk sustainable atau berkelanjutan. Namun, seperti yang kita bahas tadi, bahwa produk slow fashion ini pun mendapatkan stigma harga yang terlalu tinggi, sehingga masyarakat tidak mampu untuk membelinya.
Sebenarnya, kenapa produk sustainable ini tergolong mahal?
Kenapa Produk Sustainable Memiliki Harga yang Mahal
Apakah Fashion Ramah Lingkungan Berpengaruh Terhadap Tren Fashion Indonesia?
Seiring berkembangnya pengetahuan dan kepedulian terhadap lingkungan, tren fashion Indonesia juga akan mengalami banyak perubahan. Saat ini, jika teman-teman perhatikan, sudah mulai banyak bermunculan brand lokal yang secara khusus memproduksi fashion ramah lingkungan.Jangan salah, soal desain tentu saja brand ini siap bersaing dengan brand internasional atau brand besar lainnya.
Beberapa Pilihan Brand Lokal yang Ramah Lingkungan
Cottonink
Cottonink bukanlah pemain baru di Industri fashion Indonesia. Salah satu keunggulan dari Cottonink adalah penggunaan serat kain yang eco friendly. Salah satu bahan baku yang digunakan untuk pembuatan kain tersebut adalah dari serat kayu alami.Lanivatti
Lanivatti menghadirkan pakaian resmi yang trendi. Lanivatti mengusung sustainable fashion dalam proses pembuatannya. Bahan kain pembuat pakaian berasal dari serat benang yang biodegradable. Semua proses ini berangkat dari pengalaman founder, Nicoline yang menyaksikan limbah-limbah fesyen yang kian menumpuk saat ia menjadi fotografer busana.Biasa Official
Koleksi Biasa Official juga dibuat dalam edisi terbatas, sehingga menghindari produksi dalam jumlah besar-besaran yang meninggalkan banyak limbah. Ciri khas desain dari Biasa Official adalah resort wear pada dress perempuan yang biasa digunakan untuk liburan atau beriklim tropis.OSEM
OSEM adalah salah stau brand lokal yang menggunakan pewarnaan dan pembuatan desain dengan metode celup. Teknik tentu memberikan ciri khas yang tidak dimiliki oleh produk lainnya. Bahan pembuat kain juga mudah terurai meliputi linen dan katun. OSEM tidak menggunakan ritsleting dan kancing berbahan plastik dengan tujuan menghindari sampah tekstil.
Tak Sendiri, Laruna Hadir untuk Bantu Lakukan Dampak Nyata pada Lingkungan
Laruna adaah sebuah forum fashion yang bisa teman-teman hubungi untuk mendapatkan berbagai informasi mengenai fashion ramah lingkungan.Bersama dengan Laruna, kita bisa menunjukkan rasa cinta terhadap Bumi dengan memilih sikap “ramah lingkungan” serta memberikan dampak untuk perubahan positif yang nyata.
Dengan hadirnya wadah seperti ini, tentu memudahkan kita untuk menentukan dan memantapkan pilihan. Hadirnya Laruna, juga mengingatkan kita, bahwa bukan hanya kita yang peduli terhadap fashion ramah lingkungan.
Sebab, di luar sana bahkan sejak puluhan tahun yang lalu, telah memiliki concern yang sama dengan kita.
Menjaga lingkungan dengan tetap terlihat stylish bisa kita lakukan. Bukan dengan konsumtif berbelanja aneka pakaian yang sedang tren, tetapi juga memilih produk fashion mana yang bisa turut menjaga Bumi?
23 comments for "Hanyut dalam Tren Fashion Harga Murah? Kemanakah yang Tidak Lagi Terpakai?"
Aku pernah nengok tempat pembuangan sampah di desaku. Emang banyak banget tuh sampah baju-baju.
Hanya mungkin sekarang ini banyak dijual pakaian murah, tapi tidak berkualitas. Akhirnya sebentar dipakai, sudah robek atau bladus. Akhirnya beli lagi. Jadi lebih baik membeli pakaian dengan kualitas bagus, tapi tahan lama.
Aku pribadi biasanya baru beli baju kalau baju yang lama sudah nggak muat atau bahannya menipis karena keseringan cuci-jemur-pakai-repeated.
Aku malah hanya setahun sekali sih kalo beli pakaian. Itu pun paling 1-2 potong aja. Soalnya yg lama2 msh bgs dan layak pakai sih.
Yaa msh saya kumpulkan jd satu sih...
Sejauh ini aku masih suka mengirimkan pakaian nggak layak pakai (tapi cuma bahan tertentu sih yang diterima) ke salah satu perusahaan pengelola limbah tekstil.
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga tulisan di blog ini bermanfaat untuk teman-teman. Jangan lupa untuk tinggalkan cuitan di kolom komentar dan jangan meninggalkan link hidup yak :)