Hai, Aku Adalah Depresi Somatik
Hai, selamat bertemu kembali
Setelah sebelumnya bercerita tentang gangguan kepribadian ambangku, kini yang ingin aku bagikan adalah masalah kesehatan mental lain, yang tak kalah mengganggunya. Yakni depresi somatik.
Sejujurnya aku tidak pernah menyadari jika gangguan ini juga ada pada diriku. Mengapa? Sebab aku mengira, bahwa semua yang terjadi adalah karena kondisi mentalku (BPD) yang tengah berada pada posisi puncak.
Sayangnya, kondisi tersebut benar-benar membuat semangat hidupku hilang. Benar-benar hilang. Selama sepekan lebih, aku pernah tidak melakukan kegiatan apa pun yang biasanya menjadi rutinitas. Jadi, yang dilakukan hanya tiduran, menangis, sholat dan mengaji.
Aku benar-benar kehilangan duniaku (saat itu) dan inilah ceritaku tentang depresi ini. Selamat membaca :)
Hari berlalu. Tenagaku untuk melakukan kegiatan rumah tangga semakin berkurang setiap harinya. Hal ini juga terjadi pada kehidupan sosial, aku semakin menarik diri, baik dari kehidupan di dunia nyata maupun dunia maya.
Aku hanya ingin sendiri, tidak melakukan apapun dan tidak bertemu dengan siapapun. Namun ini tidak mudah, sebab aku adalah seorang istri dan ibu. Maka, ku lakukan urusan domestik semampuku. Aku benar-benar tidak punya tenaga dan tidak punya keinginan terhadap kegiatan apapun.
Saat itu juga, aku mengatakan pada agency tempat bekerja untuk cuti sementara. Sampai kapan? Sampai waktu yang belum bisa ditentukan, begitu kataku.
Waktu berlalu. Aku sudah tidak bekerja dan hanya menjalani rutinitas sebagai IRT saja, tetapi entah mengapa, semakin hari aku merasa semakin terluka, semakin kehilangan diri sendiri hingga “menyalahkan” Tuhan.
Aku tidak berpikir jika itu adalah gejala depresi. Sampai akhirnya, sepekan kemudian, tiba-tiba ibuku datang berkunjung.
Beliau terkejut dengan kondisiku. Bahkan, aku tahu, jika ibu takut kalau aku akan mengakhiri hidup (padahal hal tersebut sudah terpikirkan). Kemudian ibu ingin membawaku pulang, hal ini juga disampaikan ke suami, karena mereka khawatir dengan kondisiku secara lahir maupun batin.
Aku bahkan tidak ikut mengurus anakku, semua dibantu oleh ibu. Pada saat itulah aku merasa “tekanan dalam diriku ini berbeda”. Pelan-pelan aku memaksa “diriku” untuk meninggalkan “diriku yang lainnya”. Perlahan semua terlihat normal (khususnya aku).
Hingga kemudian, aku datang ke psikiater
Ada sekitar 4 jenis obat yang diberikan, tetapi beberapa obat dijadikan satu dalam kapsul dan ada satu obat yang dikonsumsi secara terpisah. Aku terkejut. Separah inikah, aku?
14 hari kemudian aku datang lagi sesuai jadwal. Aku diberikan waktu 14 hari untuk evaluasi, baik dengan obat maupun setelah konseling. Beliau bertanya, bagaimana kondisiku setelah 14 hari mengkonsumsi obat-obatan tersebut.
“Perasaan saya sepertinya menjadi lebih baik, mulai bisa berpikir logis dan ya memang berubah”, kataku.
“Apakah gejala sebelumnya muncul juga saat kamu minum obat ini”, tanya beliau.
“Iya. Satu dua kali sepertinya masih muncul, tetapi tidak seperti sebelumnya”.
Beliau kembali meresepkan obat yang sama lagi untukku, tetapi hari itu diagnosanya pun bertambah menjadi “depresi somatik”.
Di ruang tunggu farmasi, aku mencari tahu tentang kondisi tersebut dan inilah yang aku dapatkan dan rasakan.
Ciri pada penderita depresi somatik atau Somatic Symptom Disorder bisa jadi sangat berbeda antara satu pasien dengan yang lainnya, karena itu psikiater biasanya perlu memeriksa atau melakukan pertemuan konseling beberapa kali sebelum memberikan diagnosanya.
Gejala depresi somatik yang terjadi padaku (saat itu), sudah sampai pada cara berpikir yang tidak logis, masalah gangguan kecemasan yang sangat tinggi (ini juga alasan kenapa aku bisa menangis setiap hari berkali-kali) dan kelelahan yang parah atau tidak adanya kekuatan karena depresi tersebut.
Psikoterapi ini merupakan terapi dengan cara berbicara (verbal). Itulah mengapa, saat konseling psikiater mengajakku berbicara dengan memberikan berbagai afirmasi positif selama di ruangan.
Namun, psikoterapi ini juga memiliki tahapannya sendiri, sehingga tidak “asal bicara”, karena kita perlu berbicara dengan ahlinya, misalkan dengan psikiater, terapis atau mungkin konselor.
Itulah mengapa, pasien dengan terapi psikoterapi ini biasanya memiliki hubungan yang baik dengan terapisnya. Karena baik antara pasien dan terapis, memiliki kedekatan emosi.
Dari sesi cerita tersebut, juga diharapkan agar pasien bisa berdamai dengan stresnya, mengubah pola pikir hingga kebiasaan hingga menemukan cara untuk mengatasi stress atau trigger ketika “tiba-tiba datang”.
Hal ini juga disampaikan oleh hipnoterapisku. Bahwa aku (sebagai pasien), butuh bekal untuk bisa bertahan hidup, meningkatkan value hingga menemukan kembali jati diri “yang sempat hilang”.
Jadi, obat-obatan yang aku konsumsi sekarang ini, secara garis besar memang berfungsi sebagai anti depresan. Namun, setiap obat ini (meskipun fungsinya sama), tetapi mereka digunakan untuk mengatasi masalah mental yang berbeda.
Depresi somatik yang aku alami, tentu tidak datang begitu saja, tetapi maaf aku tidak bisa membagikannya di tulisan kali ini. Semoga Allah memberiku kekuatan dan keberanian, agar di suatu hari berani menceritakannya.
Bagi teman-teman yang mungkin juga sedang berjuang dengan kesehatan mentalnya, semangat, ya. Aku tahu ini juga sangat melelahkan, bahkan kadang terasa sendirian dan perjuangan kita untuk sembuh tidak terlihat. Tidak apa-apa.
Bukankah tidak semua luka itu meninggalkan bekas pada kulit tubuh?
Setelah sebelumnya bercerita tentang gangguan kepribadian ambangku, kini yang ingin aku bagikan adalah masalah kesehatan mental lain, yang tak kalah mengganggunya. Yakni depresi somatik.
Sejujurnya aku tidak pernah menyadari jika gangguan ini juga ada pada diriku. Mengapa? Sebab aku mengira, bahwa semua yang terjadi adalah karena kondisi mentalku (BPD) yang tengah berada pada posisi puncak.
Sayangnya, kondisi tersebut benar-benar membuat semangat hidupku hilang. Benar-benar hilang. Selama sepekan lebih, aku pernah tidak melakukan kegiatan apa pun yang biasanya menjadi rutinitas. Jadi, yang dilakukan hanya tiduran, menangis, sholat dan mengaji.
Aku benar-benar kehilangan duniaku (saat itu) dan inilah ceritaku tentang depresi ini. Selamat membaca :)
Awal Mula Menyadari Depresi
Di salah satu hari Selasa bulan November, aku bangun dengan mata sembab. Entah berapa lama semalaman aku menangis. Pun tidak tahu, apa sebenarnya yang membuatku menangis sampai ketiduran karena kelelahan.Hari berlalu. Tenagaku untuk melakukan kegiatan rumah tangga semakin berkurang setiap harinya. Hal ini juga terjadi pada kehidupan sosial, aku semakin menarik diri, baik dari kehidupan di dunia nyata maupun dunia maya.
Aku hanya ingin sendiri, tidak melakukan apapun dan tidak bertemu dengan siapapun. Namun ini tidak mudah, sebab aku adalah seorang istri dan ibu. Maka, ku lakukan urusan domestik semampuku. Aku benar-benar tidak punya tenaga dan tidak punya keinginan terhadap kegiatan apapun.
Saat itu juga, aku mengatakan pada agency tempat bekerja untuk cuti sementara. Sampai kapan? Sampai waktu yang belum bisa ditentukan, begitu kataku.
Waktu berlalu. Aku sudah tidak bekerja dan hanya menjalani rutinitas sebagai IRT saja, tetapi entah mengapa, semakin hari aku merasa semakin terluka, semakin kehilangan diri sendiri hingga “menyalahkan” Tuhan.
Aku tidak berpikir jika itu adalah gejala depresi. Sampai akhirnya, sepekan kemudian, tiba-tiba ibuku datang berkunjung.
Beliau terkejut dengan kondisiku. Bahkan, aku tahu, jika ibu takut kalau aku akan mengakhiri hidup (padahal hal tersebut sudah terpikirkan). Kemudian ibu ingin membawaku pulang, hal ini juga disampaikan ke suami, karena mereka khawatir dengan kondisiku secara lahir maupun batin.
Aku bahkan tidak ikut mengurus anakku, semua dibantu oleh ibu. Pada saat itulah aku merasa “tekanan dalam diriku ini berbeda”. Pelan-pelan aku memaksa “diriku” untuk meninggalkan “diriku yang lainnya”. Perlahan semua terlihat normal (khususnya aku).
Hingga kemudian, aku datang ke psikiater
Mengenal Depresi Somatik
Diagnosa ini tidak langsung keluar di pertemuan pertama kami. Namun, sejak konseling pertama, beliau sudah memberikan obat-obatan. Kemudian ketika di bagian farmasi dan antre obat, aku membaca semua obat yang beliau resepkan.Ada sekitar 4 jenis obat yang diberikan, tetapi beberapa obat dijadikan satu dalam kapsul dan ada satu obat yang dikonsumsi secara terpisah. Aku terkejut. Separah inikah, aku?
14 hari kemudian aku datang lagi sesuai jadwal. Aku diberikan waktu 14 hari untuk evaluasi, baik dengan obat maupun setelah konseling. Beliau bertanya, bagaimana kondisiku setelah 14 hari mengkonsumsi obat-obatan tersebut.
“Perasaan saya sepertinya menjadi lebih baik, mulai bisa berpikir logis dan ya memang berubah”, kataku.
“Apakah gejala sebelumnya muncul juga saat kamu minum obat ini”, tanya beliau.
“Iya. Satu dua kali sepertinya masih muncul, tetapi tidak seperti sebelumnya”.
Beliau kembali meresepkan obat yang sama lagi untukku, tetapi hari itu diagnosanya pun bertambah menjadi “depresi somatik”.
Di ruang tunggu farmasi, aku mencari tahu tentang kondisi tersebut dan inilah yang aku dapatkan dan rasakan.
Pengertian Depresi Somatik
Depresi somatik adalah salah satu depresi dengan intensitas gejala yang cukup tinggi. Gejala somatik yang biasanya terlihat mulai dari masalah makan, kelelahan hingga masalah tidur.Ciri pada penderita depresi somatik atau Somatic Symptom Disorder bisa jadi sangat berbeda antara satu pasien dengan yang lainnya, karena itu psikiater biasanya perlu memeriksa atau melakukan pertemuan konseling beberapa kali sebelum memberikan diagnosanya.
Gejala depresi somatik yang terjadi padaku (saat itu), sudah sampai pada cara berpikir yang tidak logis, masalah gangguan kecemasan yang sangat tinggi (ini juga alasan kenapa aku bisa menangis setiap hari berkali-kali) dan kelelahan yang parah atau tidak adanya kekuatan karena depresi tersebut.
Bisakah Depresi Somatik Disembuhkan?
Penderita depresi somatik sepertiku biasanya dibantu dengan terapi farmakologis, yaitu dengan menggunakan obat-obatan tertentu sesuai dengan resep psikiater dan psikoterapi.Psikoterapi ini merupakan terapi dengan cara berbicara (verbal). Itulah mengapa, saat konseling psikiater mengajakku berbicara dengan memberikan berbagai afirmasi positif selama di ruangan.
Namun, psikoterapi ini juga memiliki tahapannya sendiri, sehingga tidak “asal bicara”, karena kita perlu berbicara dengan ahlinya, misalkan dengan psikiater, terapis atau mungkin konselor.
Itulah mengapa, pasien dengan terapi psikoterapi ini biasanya memiliki hubungan yang baik dengan terapisnya. Karena baik antara pasien dan terapis, memiliki kedekatan emosi.
Dari sesi cerita tersebut, juga diharapkan agar pasien bisa berdamai dengan stresnya, mengubah pola pikir hingga kebiasaan hingga menemukan cara untuk mengatasi stress atau trigger ketika “tiba-tiba datang”.
Hal ini juga disampaikan oleh hipnoterapisku. Bahwa aku (sebagai pasien), butuh bekal untuk bisa bertahan hidup, meningkatkan value hingga menemukan kembali jati diri “yang sempat hilang”.
Jadi, obat-obatan yang aku konsumsi sekarang ini, secara garis besar memang berfungsi sebagai anti depresan. Namun, setiap obat ini (meskipun fungsinya sama), tetapi mereka digunakan untuk mengatasi masalah mental yang berbeda.
Depresi somatik yang aku alami, tentu tidak datang begitu saja, tetapi maaf aku tidak bisa membagikannya di tulisan kali ini. Semoga Allah memberiku kekuatan dan keberanian, agar di suatu hari berani menceritakannya.
Bagi teman-teman yang mungkin juga sedang berjuang dengan kesehatan mentalnya, semangat, ya. Aku tahu ini juga sangat melelahkan, bahkan kadang terasa sendirian dan perjuangan kita untuk sembuh tidak terlihat. Tidak apa-apa.
Bukankah tidak semua luka itu meninggalkan bekas pada kulit tubuh?
Post a Comment for "Hai, Aku Adalah Depresi Somatik"
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga tulisan di blog ini bermanfaat untuk teman-teman. Jangan lupa untuk tinggalkan cuitan di kolom komentar dan jangan meninggalkan link hidup yak :)