Ibu dengan Mental Disorder
Halo, salam kenal. Aku adalah seorang ibu yang didiagnosa mengidap borderline personality disorder.
Sebenarnya, cerita ini ingin ku simpan sendiri. Karena tidak ingin menimbulkan persepsi, bahwa aku butuh perhatian atau validasi dari orang lain. Namun kemudian terpikir, bahwa bisa jadi, di luar sana ada orang yang juga sedang berada di kondisi yang sama denganku.
Ya, dan inilah ceritaku dengan masalah kesehatan mental yang sampai hari ini masih terus disembuhkan.
Semua cerita ini bermula sekitar tahun 2009. Ya, ini sudah belasan tahun silam. Saat itu, aku masih duduk di kelas 10 SMA. Inilah pertama kalinya aku merasa tidak nyaman dengan diriku sendiri.
Hal-hal yang aku rasakan saat itu adalah susah membangun hubungan sosial, sering merasa tidak berguna, terasingkan dan emosi yang tidak stabil. Semua perasaan dan kondisi itu terus berlangsung tanpa ada upaya untuk menyembuhkan.
Tahun 2009, aku bahkan harus ke warnet untuk bisa mengakses internet. Lalu, bagaimana bisa aku bertemu dengan psikiater dan menjelaskan semuanya? Sungguh hal ini tidak pernah terpikirkan sama sekali (saat itu).
Kemudian, aku menarik kesimpulan “bahwa aku berbeda dengan orang lain”, tanpa tahu alasannya. Waktu terus berlalu, hingga kemudian di tahun 2017 aku menikah dengan seorang pria yang sangat baik.
Pernikahan kami baik-baik saja. Namun ternyata tidak denganku. Kondisi mentalku masih naik turun, sebab aku hanya mengendalikannya semampuku. Tiba-tiba menangis, tiba-tiba marah, tiba-tiba tidak ingin bertemu orang hingga tidak ingin berbicara dengan siapa pun.
Nah, ini adalah awal mula aku berkenalan dengan kesehatan jiwa.
Kemudian di waktu yang berdekatan, aku kembali menggunakan aplikasi yang sama tetapi memilih profesional yang berbeda. Diagnosa beliau adalah borderline personality disorder.
Setelah melakukan dua konsultasi tersebut, aku tidak pernah lagi melakukan pemeriksaan dan sejenisnya. Semua berhenti di tahun itu.
Aku hanya terus mencari tahu di internet tentang dua diagnosa tersebut, baik bipolar maupun borderline personality disorder. Semakin aku mencari, semakin banyak kesamaan antara aku dengan dua diagnosa tersebut.
Namun, aku memilih tidak melakukan pemeriksaan maupun konsultasi lebih lanjut. Karena di tahun itu, merasa semua telah baik-baik saja dan aku sedang hamil saat itu. Hari-hari berlalu begitu cepat.
Tak terasa, aku bertemu dengan tahun 2021. Tahun di mana kesehatan mentalku benar-benar muncul ke permukaan. Tahun ini, anakku masih berusia 2 tahun lebih dan baru saja aku selesai menyapihnya.
Pada satu hari, aku sedang menangis di kamar dan tiba-tiba anakku terbangun lalu mencariku. Aku menghampirinya dengan mata sembab lalu memeluknya, mengusap punggungnya untuk memastikan bahwa dia telah aman dan nyaman.
Namun ternyata, dia justru berbalik dan melihat mataku yang basah. Kemudian aku bilang “ibu tidak apa-apa, ayo tidur lagi”. Anak kecil ini tidur lagi dan tenggelam dalam pelukanku. Tangisku semakin deras.
Tahun ini, aku pernah menulis tentang kondisi mentalku yang tidak baik-baik saja. Bagaimana aku berjuang agar tetap hidup setelah berhadapan dengan trauma yang luar biasa menyakitkan (bahkan sampai saat ini, sakit itu masih ada).
Siapa sangka, jika setahun kemudian aku akan kembali menulis tentang kesehatan mentalku.
Tahun 2023, aku sudah membaca banyak artikel tentang kesehatan mental dan aku menyimpulkan memang ada sesuatu dalam diriku. Kemudian dari seorang teman, bertemulah aku dengan seorang hipnoterapis.
Pertemuan pertama berlangsung selama dua jam lebih. Di akhir sesi, beliau menyebutkan jika aku memiliki gangguan kecemasan, trauma disorder dan inner child. Beliau menyarankan, untuk jadwal temu dua minggu sekali dengan terapi yang berbeda dan bertahap.
Sebenarnya, cerita ini ingin ku simpan sendiri. Karena tidak ingin menimbulkan persepsi, bahwa aku butuh perhatian atau validasi dari orang lain. Namun kemudian terpikir, bahwa bisa jadi, di luar sana ada orang yang juga sedang berada di kondisi yang sama denganku.
Ya, dan inilah ceritaku dengan masalah kesehatan mental yang sampai hari ini masih terus disembuhkan.
Inilah Aku : Ibu dengan Gangguan Mental
Awalnya aku tidak pernah menyadari, jika ternyata ada masalah dengan kesehatan mentalku. Karena dulu, akses literasi tentang hal ini sangat terbatas dan di sekitarku tidak ada yang memiliki concern terhadap hal ini.Semua cerita ini bermula sekitar tahun 2009. Ya, ini sudah belasan tahun silam. Saat itu, aku masih duduk di kelas 10 SMA. Inilah pertama kalinya aku merasa tidak nyaman dengan diriku sendiri.
Hal-hal yang aku rasakan saat itu adalah susah membangun hubungan sosial, sering merasa tidak berguna, terasingkan dan emosi yang tidak stabil. Semua perasaan dan kondisi itu terus berlangsung tanpa ada upaya untuk menyembuhkan.
Tahun 2009, aku bahkan harus ke warnet untuk bisa mengakses internet. Lalu, bagaimana bisa aku bertemu dengan psikiater dan menjelaskan semuanya? Sungguh hal ini tidak pernah terpikirkan sama sekali (saat itu).
Kemudian, aku menarik kesimpulan “bahwa aku berbeda dengan orang lain”, tanpa tahu alasannya. Waktu terus berlalu, hingga kemudian di tahun 2017 aku menikah dengan seorang pria yang sangat baik.
Pernikahan kami baik-baik saja. Namun ternyata tidak denganku. Kondisi mentalku masih naik turun, sebab aku hanya mengendalikannya semampuku. Tiba-tiba menangis, tiba-tiba marah, tiba-tiba tidak ingin bertemu orang hingga tidak ingin berbicara dengan siapa pun.
Nah, ini adalah awal mula aku berkenalan dengan kesehatan jiwa.
Diagnosa itu Akhirnya Datang
Tahun 2018, aku memutuskan menghubungi salah seorang tenaga medis menggunakan aplikasi kesehatan. Dari telekonsultasi yang berlangsung sekitar 30 menit, beliau memberikan diagnosa bipolar.Kemudian di waktu yang berdekatan, aku kembali menggunakan aplikasi yang sama tetapi memilih profesional yang berbeda. Diagnosa beliau adalah borderline personality disorder.
Setelah melakukan dua konsultasi tersebut, aku tidak pernah lagi melakukan pemeriksaan dan sejenisnya. Semua berhenti di tahun itu.
Aku hanya terus mencari tahu di internet tentang dua diagnosa tersebut, baik bipolar maupun borderline personality disorder. Semakin aku mencari, semakin banyak kesamaan antara aku dengan dua diagnosa tersebut.
Namun, aku memilih tidak melakukan pemeriksaan maupun konsultasi lebih lanjut. Karena di tahun itu, merasa semua telah baik-baik saja dan aku sedang hamil saat itu. Hari-hari berlalu begitu cepat.
Tak terasa, aku bertemu dengan tahun 2021. Tahun di mana kesehatan mentalku benar-benar muncul ke permukaan. Tahun ini, anakku masih berusia 2 tahun lebih dan baru saja aku selesai menyapihnya.
Aku Menderita Gangguan Jiwa
Tahun 2022 aku mencoba mengendalikan diriku semampunya. Sebab, kondisi mentalku benar-benar tidak baik. Aku sudah pada titik menarik diri dari kehidupan sosial.Pada satu hari, aku sedang menangis di kamar dan tiba-tiba anakku terbangun lalu mencariku. Aku menghampirinya dengan mata sembab lalu memeluknya, mengusap punggungnya untuk memastikan bahwa dia telah aman dan nyaman.
Namun ternyata, dia justru berbalik dan melihat mataku yang basah. Kemudian aku bilang “ibu tidak apa-apa, ayo tidur lagi”. Anak kecil ini tidur lagi dan tenggelam dalam pelukanku. Tangisku semakin deras.
Tahun ini, aku pernah menulis tentang kondisi mentalku yang tidak baik-baik saja. Bagaimana aku berjuang agar tetap hidup setelah berhadapan dengan trauma yang luar biasa menyakitkan (bahkan sampai saat ini, sakit itu masih ada).
Siapa sangka, jika setahun kemudian aku akan kembali menulis tentang kesehatan mentalku.
Tahun 2023, aku sudah membaca banyak artikel tentang kesehatan mental dan aku menyimpulkan memang ada sesuatu dalam diriku. Kemudian dari seorang teman, bertemulah aku dengan seorang hipnoterapis.
Pertemuan pertama berlangsung selama dua jam lebih. Di akhir sesi, beliau menyebutkan jika aku memiliki gangguan kecemasan, trauma disorder dan inner child. Beliau menyarankan, untuk jadwal temu dua minggu sekali dengan terapi yang berbeda dan bertahap.
Terapi dengan beliau kami lakukan dua pekan sekali dan sudah mulai di bulan Septeber kemarin.
Dari beliau pula, mendapatkan jawaban mengapa sering sekali aku bertindak impulsif yang terlihat cukup gegabah. Beliau menjelaskannya secara ilmiah, tidak ada penghakiman sama sekali justru empatinya sangat luar biasa.
Beliau memberi kebebasan padaku untuk menangis selama yang aku butuh tanpa mengganggu atau menghentikannya. Memang ada yang tidak normal dengan susunan saraf di otak.
Kondisi inilah yang kemudian membuatku terlihat tidak baik-baik saja dan berbeda dengan orang lain “pada umumnya”.
Tidak berhenti di situ. Aku mulai bertemu dengan psikiater. Mengapa? Karena aku sudah benar-benar merasa tidak nyaman dengan diriku, bahkan sudah bisa dikategorikan membahayakan.
Seberbahaya apa? Mencoba mengakhiri hidup. Ya. Aku pernah di fase ini berulang kali. Sungguh, aku merasa ada orang lain dalam diriku. Bertengkar dengan diri sendiri bukanlah hal yang mudah.
Diagnosa psikiater pun sama, yakni bipolar, borderline personality disorder dan depresi somatik. Bisa dibayangkan, bagaimana beratnya hidup dengan kondisi jiwa yang seperti ini? Sangat tidak mudah.
Dari psikiater, jadwal temu kami dua pekan sekali ditambah dengan bantuan obat-obatan. Bulan januari ini adalah bulan ketiga aku mengonsumsi obat-obatan setiap hari tanpa boleh terlewat dan terapi dengan psikiater.
Ini bukan perjalanan yang mudah. Karena untuk tahu masalah apa yang benar-benar ada dalam diriku, butuh waktu yang panjang, butuh berbagai evaluasi.
Aku pernah menyalahkan Tuhan atas kondisiku yang seperti ini. Karena berbeda dengan teman-teman yang memiliki masalah kesehatan fisik, kami dengan masalah kesehatan mental sering dianggap berlebihan.
Bahkan, aku sudah mendapatkan label “kurang iman” dan “manipulatif”. Tidak apa-apa. Tuhan tahu bagaimana aku berjuang dengan sungguh-sungguh agar bisa hidup dengan normal.
Ceritaku tentang ini masih panjang, sampai jumpa di tulisan selanjutnya.
Dari beliau pula, mendapatkan jawaban mengapa sering sekali aku bertindak impulsif yang terlihat cukup gegabah. Beliau menjelaskannya secara ilmiah, tidak ada penghakiman sama sekali justru empatinya sangat luar biasa.
Beliau memberi kebebasan padaku untuk menangis selama yang aku butuh tanpa mengganggu atau menghentikannya. Memang ada yang tidak normal dengan susunan saraf di otak.
Kondisi inilah yang kemudian membuatku terlihat tidak baik-baik saja dan berbeda dengan orang lain “pada umumnya”.
Tidak berhenti di situ. Aku mulai bertemu dengan psikiater. Mengapa? Karena aku sudah benar-benar merasa tidak nyaman dengan diriku, bahkan sudah bisa dikategorikan membahayakan.
Seberbahaya apa? Mencoba mengakhiri hidup. Ya. Aku pernah di fase ini berulang kali. Sungguh, aku merasa ada orang lain dalam diriku. Bertengkar dengan diri sendiri bukanlah hal yang mudah.
Diagnosa psikiater pun sama, yakni bipolar, borderline personality disorder dan depresi somatik. Bisa dibayangkan, bagaimana beratnya hidup dengan kondisi jiwa yang seperti ini? Sangat tidak mudah.
Dari psikiater, jadwal temu kami dua pekan sekali ditambah dengan bantuan obat-obatan. Bulan januari ini adalah bulan ketiga aku mengonsumsi obat-obatan setiap hari tanpa boleh terlewat dan terapi dengan psikiater.
Ini bukan perjalanan yang mudah. Karena untuk tahu masalah apa yang benar-benar ada dalam diriku, butuh waktu yang panjang, butuh berbagai evaluasi.
Aku pernah menyalahkan Tuhan atas kondisiku yang seperti ini. Karena berbeda dengan teman-teman yang memiliki masalah kesehatan fisik, kami dengan masalah kesehatan mental sering dianggap berlebihan.
Bahkan, aku sudah mendapatkan label “kurang iman” dan “manipulatif”. Tidak apa-apa. Tuhan tahu bagaimana aku berjuang dengan sungguh-sungguh agar bisa hidup dengan normal.
Ceritaku tentang ini masih panjang, sampai jumpa di tulisan selanjutnya.
1 comment for " Ibu dengan Mental Disorder"
saya ikut mendukung dan support mendalam bagi segala macam penyembuhan.
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga tulisan di blog ini bermanfaat untuk teman-teman. Jangan lupa untuk tinggalkan cuitan di kolom komentar dan jangan meninggalkan link hidup yak :)